Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eko Mulyadi, Penggerak Perubahan "Kampung Idiot"

Kompas.com - 16/09/2013, 21:08 WIB
Kontributor Kediri, M Agus Fauzul Hakim

Penulis


PONOROGO, KOMPAS.com
— Eko Mulyadi, pemuda berusia 31 tahun ini layak disebut sebagai pejuang tunagrahita. Bagaimana tidak, di usia yang masih belia itu, ia mampu mengubah kondisi kampungnya yang dahulu dikenal sebagai “kampong idiot” kini menjadi kampung yang penuh semangat dan keceriaan.

Desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kaupaten Ponorogo, Jawa Timur, sebagai tempat tinggalnya itu sempat dicap sebagai “kampung idiot” karena banyak warga berkebutuhan khusus yang ada di desa itu.

Pemuda lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu berhasil mengajak para pengidap down syndrome (keterbelakangan mental) menjadi mandiri.

Melalui inisiatifnya, ia mampu memberdayakan sekitar 98 penderita tunagrahita yang ada di desanya dengan mengajarkan hidup mandiri. Mandiri dalam arti mengurangi ketergantungan diri pada orang lain maupun lingkungannya. Sebuah impian yang sempat mendapat cemoohan dari sebagian masyarakat.

Dengan keteguhan dan dukungan warga lainnya, Eko berhasil membuat mandiri para penyandang gangguan intelektual itu melalui medium budidaya ikan lele. Konsep itu diaktualisasikan melalui kolam ukuran 1 x 2 meter yang dibangun di setiap rumah warga penyandang tunagrahita.

Warga penyandang tunagrahita memiliki sekaligus bertugas mengelola kolam yang berisikan 1.000 ekor bibit lele itu, mulai dari memberi pakan, membersihkan kolam, hingga penggantian air kolam.

Dari setiap kolam itu rata-rata dapat menghasilkan laba Rp 150.000 hingga Rp 250.000 setiap kali panen yang dilakukan tiga bulan sekali.

Dari uang hasil usaha budidaya ikan itu, kini para penyandang defisit kognitif dapat membantu menghidupi diri sendiri. Uang hasil panen lele mereka tukarkan dengan pelbagai macam kebutuhan pokok untuk pemenuhan kebutuhan hariannya.

Sebelumnya, para penyandang tunagrahita di desa itu seperti kaum yang terpinggirkan. Mereka selama ini hanya dipandang sebelah mata karena kondisinya serta ketidakproduktifannya. Mereka seakan menjadi beban yang memperberat kemiskinan yang melanda desa itu.

Dengan model pemberdayaan yang dilakukan bapak satu anak ini, kini para penyandang tunagrahita semakin mendapatkan tempat dan lebih dihargai. Sementara masyarakat secara umum juga mendapatkan manfaatnya.

Tergerak karena kondisi

Perjuangan putra sulung dari empat bersaudara pasangan Maijo dan Lasmi ini berawal dari kegelisahannya terhadap kondisi kampungnya yang penuh dengan keterbatasan. Desa tempatnya tumbuh berkembang itu terletak di kaki tiga gunung sekaligus, yaitu Gunung Bangkong, Gunung Kukusan, serta Gunung Rajeg Wesi. Desa itu juga dekat dengan perbatasan wilayah Kabupaten Pacitan.

Lokasi desa cukup jauh dari pusat Kota Ponorogo, yang berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat kota. Kondisi tanahnya tandus karena berada di kawasan pegunungan kapur dan diperparah dengan kurangnya air. Kondisi ini membuat masyarakatnya hidup dalam keprihatinan.

Data yang dihimpun, di desa itu terdapat 290 kepala keluarga (KK) yang hidup di bawah garis kemiskinan, 561 KK yang hampir miskin, serta 48 KK yang mempunyai anggota keluarga penyandang tunagrahita. Jumlah penyandang tunagrahita mencapai 98 orang.

Mayoritas warga berkebutuhan khusus ini masih berusia produktif, pada kisaran usia 40 tahun. Hanya empat di antaranya yang berusia anak-anak.

Di dataran yang lebih tinggi, masyarakatnya mencukupi kebutuhan keseharian dengan bercocok tanam seadanya. Karena kondisi itu, nasi menjadi barang mewah. Lebih sering mereka memanfaatkan gaplek atau singkong yang dijemur kering sebagai makanan utamanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com