Namun, tiga ekonom, Faisal Basri, A Prasetyantoko, dan Kodrat Wibowo, bersepakat bahwa nilainya tidak akan lebih tinggi dari penyertaan modal sementaranya (PMS) yang pertama, yakni mencapai Rp 6,76 triliun.
Bahkan, Prasetyantoko memperkirakan bahwa harga Bank Mutiara hanya di kisaran 30 persen dari PMS. "Book value memperlihatkan saham terakhir rendah. Secara psikologis, pasar tidak menginginkan. Kalau barang bagus pasti harga tinggi. Kalau barangnya jelek, pasti harganya rendah," kata Kodrat, dosen Fakultas Ekonomi Unpad, dalam sebuah diskusi bertajuk "Penjualan Bank Mutiara, Harga Jual VS PMS", di Jakarta, Senin (16/6/2014).
Menurut dia, formula untuk menentukan harga Bank Mutiara didasari dari dua faktor, yakni elastisitas urgensi kepemilikan serta aspek politik dan hukum.
"Akan tetapi, harga melego Bank Mutiara ini tersandera faktor kedua. Sekarang, siapa yang mau berhubungan dengan kasus kriminal? Ngapain beli sesuatu yang bermasalah?" katanya.
Sementara itu, Prasetyantoko mengatakan, istilah PMS harus diluruskan sebagai dana talangan. Berdasarkan pengalaman tahun 1997-1998, recovery rates atau tingkat pengembalian atas modal yang disuntikkan kepada perbankan hanya 30 persen. Bahkan, Moody's juga menunjukkan catatan recovery rates di negara maju juga di kisaran 20-30 persen.
"Masa kita minta 100 persen? Dalam situasi historis, menurut saya, konsensusnya 30 persen. Tinggal dihitung aja (dari dana talangan Bank Mutiara)," kata dosen Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya itu.
Faisal Basri juga mengamini nilai jual Bank Mutiara di kisaran 30 persen dari nilai dana talangan pertamanya. "Enggak ada recovery 100 persen. Di surga adanya," kata dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.