Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Sorong dengan Sagu

Kompas.com - 04/09/2014, 12:19 WIB
Estu Suryowati

Penulis


SORONG, KOMPAS.com
- Setelah melalui proses yang cukup panjang, pabrik sagu milik Perum Perhutani di Kais, Sorong Selatan, Papua Barat segera beroperasi pada Maret 2015. Saat ini pembangunan fisik pabrik sagu Perhutani mencapai 60 persen.

Namun, Direktur Utama Perhutani, Bambang Sukmanyanto mengatakan, yang terpenting adalah pembangunan sosial yang dibangun sebelum pembangunan fisik pabrik dikerjakan.

Dia mengatakan, untuk memb angun 17.000 hektar lahan di Papua sebagai tempat menanam sagu, tidaklah mudah. "Ke Gubernur ke Bupati dalam satu hari, jadi. Tapi yang di lapangan ini tidak mudah. Hampir delapan bulan sampai settle. Tugas Perhutani adalah meyakinkan masyarakat adat di Papua," kata Bambang, di Sorong, Rabu (3/9/2014).

Dia menjelaskan, pendekatan ke masyarakat sebelum mendirikan pabrik adalah dengan manggandeng semua unsur masyarakat, dan melibatkan kepala-kepala suku. "Kita menjelaskan, kami datang bukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, tapi untuk membantu ketahanan pangan. Proses ini cukup panjang, intinya untuk meyakinkan masyarakat," ujar dia.

Alhasil, dengan pendekatan tersebut, Bambang mendapat laporan dari pemerintah daerah setempat bahwa pabrik sagu Perhutani menjadi satu-satunya proyek yang tidak menimbulkan konflik. Bahkan Perhutani berhasil membangun Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Kais, bernama LMDH Bosiro.

"Biasanya, kata pemda, selalu timbul konflik jika ada proyek datang," ucap Bambang.

Ronald Situela, Manager Proyek Pabrik Sagu Perhutani mengatakan, riil lahan yang berhasil dibuka Perhutani adalah sekitar 15.000 hektar lahan dari kebutuhan 17.000 hektar.

Bambang bilang, hutan yang diperuntukkan kebun sagu adalah hutan sekunder. Tadinya kawasan tersebut banyak ditanami pohon Merbau, namun telah habis ditebang, dan kemudian ditanami pohon sagu rakyat.

Sayangnya, banyak dari sagu-sagu tersebut terbuang, atau mati dengan sendirinya lantaran tidak ditebang. Pohon sagu yang tidak ditebang, akan kehilangan sari patinya. Sari sagu tersebut akan berubah menjadi tunas baru untuk regenerasi.

"Makanya perlu ditebang (diambil sarinya)," kata Ronald. Namun, ke depan, hanya sagu-sagu pilihan saja yang akan ditebang dan diolah menjadi tepung di pabrik sagu Perhutani.

"Satu hektar kita perlu 100 batang saja. Nanti kita pilih sagu-sagu yang bagus, di mana satu pohonnya menghasilkan sekitar 400 kilogram sagu," jelas dia.

Pasar sagu potensial

Saat ini, permintaan tepung sagu berkembang cukup pesat. Sayangnya, potensi sagu di Indonesia belum termanfaatkan. Satu-satunya kompetitor produsen sagu adalah Malaysia. Di Kuching, Malaysia banyak perkebunan sagu rakyat dalam skala kecil. Namun, mereka lebih maju dalam hal industri, lantaran sudah dimulai sejak sekitar 1969.

"Kita akan memenuhi permintaan domestik yang masih begitu besar, kekurangannya 1,5 juta ton per tahun. Permintaan domestik yang banyak itu seperti dari Cirebon dan Surabaya. Kalau harga di pasar dunia bagus, tentu kita akan ekspor juga. Ke Jepang dan ASEAN, karena di ASEAN itu pemainnya cuma satu, Malaysia," kata Bambang dalam kunjungan ke Kais.

Dengan adanya pabrik sagu Perhutani, Indonesia juga berpeluang menjadi pemain di industri sagu yang potensial. Potensi daerah setempat pun bisa dikembangkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com