Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari China

Kompas.com - 10/10/2014, 23:23 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Meski tengah mengalami perlambatan, perekonomian China tetap tumbuh tinggi, di kisaran 7,5 persen. Pengamat ekonomi A Tony Prasetiantono memandang, Indonesia masih tetap bisa belajar dari negeri tirai bambu itu.

Bagaimana China menjadi negara besar, Tony menjelaskan, ekonomi China mulai tumbuh sejak 2001. Investasi mulai massif dilakukan sejak 22 tahun sebelumnya, pada 1979. "Deng Xiaoping memulai dengan kata-kata: 'Saya tidak peduli warna kucing, yang penting bisa nangkap tikus'. Tak peduli apa sistem ekonominya, yang penting bisa menangkap tikus," kata Tony dalam Indonesia Knowledge Forum III, Jakarta, Jumat (10/10/2014).

Maka dari itu, lanjut Tony, China melakukan liberalisasi ekonomi besar-besaran. Mereka banyak menarik investasi asing. Gelombang pertama investasi asing ke China dari Jepang, Taiwan, dan Hongkong, seiring dengan ekonomi Jepang yang mulai jenuh.

"Suku bunga (Jepang) almost zero, inflasi zero. Karena Jepang sudah jenuh, upah buruh sudah tinggi, Jepang sudah tidak punya competitiveness lagi untuk produk," terang akademisi UGM itu.

Sejak saat itu, investasi asing ke China terus tumbuh. Selain investasi, China dapat menjadi ekonomi raksasa karena pada 1995 diaspora China telah mencapai 60.000. Meski terlihat mudah, karena mendapat bonus kejenuhan ekonomi Jepang, pemerintah China bukan tidak melakukan apa-apa.

Tony bilang, China mau berboros-boros dalam hal membangun infrastruktur. "Belanja infrastruktur China paling tinggi diantara emerging market, mencapai 10 persen terhadap PDB. Rata-rata emerging market idealnya 5 persen," ucap Tony.

Dia mengatakan, ekonomi China akan terus tumbuh karena pemerintahnya rajin mendorong infrastruktur. "Rajin menyelenggarakan event untuk mendorong infrastruktur. Contoh Olimpiade Beijing, dia bangun stadion megah. Shanghai Expo juga," sebut dia lagi.

China, di sisi lain, juga mengambil kebijakan restriktif, dengan membatasi jumlah kelahiran. Bahkan, lanjut Tony, pemerintah China mendenda Rp 1,7 miliar warga negaranya jika punya tiga anak.

Meski terlihat utopis, Tony mengingatkan, tidak semua yang berasal dari China perlu disadur. Satu hal yang mengganjal ekonomi China adalah soal politik. "Ketika tidak bisa mengendalikan disparitas antara yang di pantai dan di tengah. Karena yang di timur banyak industri, pertanian juga maju. Sementara yang tengah dan barat, tidak," kata Tony.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Work Smart
Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Whats New
Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Whats New
Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Spend Smart
Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Whats New
Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Whats New
5 Cara Beli Emas di Pegadaian, Bisa Tunai dan Nyicil

5 Cara Beli Emas di Pegadaian, Bisa Tunai dan Nyicil

Spend Smart
Masuki Usia ke-20, Sido Muncul Beberkan Rahasia Sukses Kuku Bima

Masuki Usia ke-20, Sido Muncul Beberkan Rahasia Sukses Kuku Bima

BrandzView
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com