Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asia Diterpa Krisis, Akankah seperti 1997-1998?

Kompas.com - 27/08/2015, 12:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam beberapa hari terakhir, pasar finansial Asia dihantam sejumlah isu dari segala penjuru. Pertama, isu rencana kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve dalam waktu dekat yang menyebabkan dollar AS perkasa. Kedua, pelambatan ekonomi Tiongkok serta pemangkasan nilai mata uang yuan.

Sejak Bank Sentral Tiongkok atau People's Bank of China (PBC) mengumumkan perubahan pendekatan nilai tukar mata uang mereka pada 11 Agustus lalu, nilai mata uang Asia kompak melemah.

Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun ini (hingga 24 Agustus 2015), peso Filipina memiliki performa terbaik di antara rekan-rekan sejawatnya dengan pelemahan hanya 4,6 persen. Sementara itu, baht Thailand melemah 7,6 persen, rupiah Indonesia melemah 12 persen, dan ringgit Malaysia melemah 18 persen pada periode yang sama. 

Demikian halnya dengan performa pasar saham. Jika dihitung sejak awal tahun, performa bursa Filipina hanya turun 5,61 persen. Angka ini jauh lebih baik dibanding negara-negara Asia lainnya, seperti Thailand yang turun 10,47 persen, Malaysia turun 9,7 persen, dan Tiongkok yang turun 16,91 persen pada periode yang sama.

Khusus untuk Indonesia, jika dihitung sejak awal Januari 2014, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah mencapai 19,3 persen.

Memerahnya pasar finansial Asia memunculkan pertanyaan di benak investor. Apakah skenario krisis pada 1997-1998 akan kembali berulang?

Tim analis Morgan Stanley menilai, kondisi krisis pada 1997-1998 silam tidak akan terjadi pada kondisi saat ini. Sebab, pada waktu itu, mata uang Asia—tak termasuk Tiongkok dan Hongkong—melemah sangat tajam dengan kisaran 41 persen pada periode Juni 1997 hingga Januari 1998.

"Kami yakin, profil utang domestik saat ini, tekanan disinflasi yang konsisten, surplus neraca dagang, nilai tukar mata uang yang fleksibel, serta ketercukupan cadangan mata uang asing memberikan ruang bagi penentu kebijakan di kawasan regional untuk mengontrol dengan baik kondisi likuiditas mereka," ujar Chetan Ahya, salah satu anggota tim riset Morgan Stanley.

Selain itu, Morgan Stanley melihat, The Fed tidak akan terburu-buru dalam menaikkan suku bunga acuan mereka dibanding dengan kebijakan yang mereka ambil pada masa krisis lalu. Terlebih lagi, Bank Sentral Eropa dan Bank of Japan masih mengimplementasikan program pelonggaran kuantitaif (quantitative easing).

"Sebagai tambahan, keterhubungan Asia dengan perekonomian global dan kontribusi Asia yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) global menunjukkan, perkembangan ekonomi di Asia akan memberikan dampak besar terhadap Amerika dibandingkan tahun 1997. Berdasarkan pertimbangan itu, kami memprediksi, AS tidak akan terburu-buru melakukan pengetatan kebijakan," tambah Ahya.

Meski demikian, bukan berarti kondisi makro di Asia berada dalam kondisi baik-baik saja. Adanya tekanan disinflasi secara terus-menerus dan lambatnya respons pemangku kebijakan dalam menangani permasalahan yang ada masih menjadi momok bagi ekonomi Asia. Disinflasi merupakan proses penurunan tingkat inflasi yang tinggi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com