Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi dan Jamban, Apa Hubungannya?

Kompas.com - 16/12/2015, 11:59 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com – Investasi dan jamban, apa hubungannya? Pertanyaan yang wajar langsung berdenging saat dua kata itu disebut bersamaan. Lalu, bagaimana hubungan dua kata tersebut? Seperti apa pula hitungannya?

Merujuk data Bank Dunia, ada sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak punya fasilitas jamban yang layak. Dari jumlah itu, satu miliar orang bahkan masih buang air besar sembarangan di sungai atau ladang.

Di Indonesia, jumlah orang yang buang air besar sembarangan diperkirakan juga masih lebih dari 50 juta. “Setengah populasi masyarakat pedesaan tidak memiliki akses sanitasi layak," tulis laporan Bank Dunia untuk pertemuan para menteri terkait keuangan, air, dan sanitasi yang berlangsung di Washington DC, Amerika Serikat pada 11 April 2014.

Laporan yang sama menyebutkan, dari perkiraan 57 juta orang masih buang air besar sembarangan di Indonesia, 40 juta di antaranya tinggal di pedesaan. Padahal, jamban layak merupakan salah satu fasilitas sanitasi dasar. Bila tidak terpenuhi, beragam penyakit rawan berjangkit, mulai dari diare hingga gizi buruk.

Karena diare, anak-anak terpaksa absen dan kehilangan jatah waktu belajarnya di sekolah. Bahkan, disebutkan oleh Bank Dunia, pada 2008, diare menyebabkan kematian pada 1,4 juta anak di dunia. Untuk Indonesia, Bank Dunia menghitung orang Indonesia harus merogoh tambahan pengeluaran Rp 1,25 juta per tahun gara-gara sanitasi tak layak.

Investasi sanitasi

Pada masa lalu, sulit membuktikan bahwa minimnya toilet mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, belakangan, sejumlah riset menunjukkan hal tersebut. Setiap rupiah investasi untuk sanitasi akan menghasilkan nilai ekonomi delapan hingga sebelas kali lipat.

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Jawa Timur, misalnya, mendapati setiap investasi Rp 1 memicu masyarakat berinvestasi hingga Rp 35. [Kompas.com, 1/6/2012].

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Warga Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, mencuci pakaian, peralatan dapur, dan membersihkan makanan dengan air Sungai Ciliwung yang tercemar. Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan masih rendah di sebagian wilayah di sepanjang bantaran sungai itu.

Gagal berinvestasi untuk sanitasi berarti kegagalan pengelolaan sampah hingga pencemaran sungai dan air tanah. Tak hanya itu. Sanitasi buruk memiliki kaitan erat dengan peningkatan kualitas air minum.

Kedua permasalahan tersebut tak akan selesai bila tak ada terobosan upaya. Studi Bank Pembangunan Asia (ADB) mendapati, kegagalan investasi Rp 1 untuk sanitasi butuh Rp 36 untuk membiayai upaya membersihkannya.

Pemulihan mencakup berbagai sektor yang terkena dampak sanitasi buruk. Misalnya, air yang terkena polusi akibat sanitasi buruk akan menjadi biaya baru untuk konstruksi. Pencemaran juga akan membebani biaya bagi sektor yang membutuhkan aliran air, termasuk pertanian, peternakan ikan, produksi energi, dan industri berskala besar.

Data dari Dewan Pariwisata dan Perjalanan Dunia (WTCC) pada 2012 menyebutkan sektor pariwisata pun terimbas sanitasi buruk. Kesehatan, keamanan, dan estetika, kerap menjadi alasan dan pertimbangan untuk penentuan tujuan wisata.

Kualitas sanitasi menjadi satu dari syarat sektor pariwisata tumbuh subur. Sebagai catatan, pariwisata pada 2011 saja sudah menyediakan lebih dari 260 juta pekerjaan, penghidupan bagi 8 persen penduduk dunia. Data dari Water Sanitation Programme (WSP) Bank Dunia pada 2008 mendapati sanitasi buruk di Indonesia menyebabkan kerugian Rp 1,4 triliun di sektor pariwisata dan Rp 29 triliun di sektor kesehatan.

Setahun sebelumnya, kerugian dari kedua sektor tersebut di Indonesia tercatat Rp 58 triliun atau setara sekitar 2,1 persen  pendapatan domestik bruto saat itu. Catatan Bank Dunia, hingga 2013 dunia mengalami kerugian 260 miliar dollar AS per tahun karena sanitasi buruk.

Satu hal lagi, sanitasi layak dan layanan air bersih merupakan prasyarat dasar pembangunan. Dua hal ini menjadi fondasi untuk menjamin pembangunan sektor lainnya. 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com