JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pembina Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Johnny Andrean mengungkapkan, saat ini ada ketidakadilan sistem pasar terkait sewa-menyewa lahan atau kios pada pusat perbelanjaan.
Menurut dia, kini ketimpangan pengusaha lokal dan asing terus terjadi pada industri ritel dalam negeri, seperti fenomena yang lemah membantu yang kuat atau pengusaha kecil menopang pengusaha besar. Akibatnya, industri ritel menjadi tidak sehat.
"Ada ketidakadilan di sini, pusat perbelanjaan semua ingin memiliki merek yang keren, hingga akhirnya memasukkan merek asing dan memberikan diskon sewa dan lainnya. Namun, di sisi lain, pengusaha lokal dibebani dengan berbagai kenaikan uang sewa dan ongkos pelayanan," kata Johnny seusai konferensi pers Hippindo di Jakarta, Selasa (17/1/2017).
Dia menjelaskan, tak bisa dipungkiri, saat ini kota-kota besar memiliki pusat perbelanjaan atau mal yang banyak. Hal tersebut berimbas pada persaingan ketat antar-mal.
Salah satu faktanya adalah berlomba-lomba memiliki merek-merek internasional agar menarik minat pengunjung.
Dengan hadirnya merek-merek asing tersebut, tak jarang pengelola mal akan mengeluarkan biaya lebih agar merek asing mau membuka gerainya pada mal tersebut.
"Pemilik mal merasa tidak cukup dengan brand lokal. Harus ada brand luar negeri. Makanya, mal itu membiayai brand-brand terkenal itu," ungkapnya.
Dia menuturkan, biaya lebih yang dikeluarkan antara lain untuk sarana promosi merek, interior gerai, hingga diskon sewa tempat dan biaya layanan.
"Bahkan ada brand yang interior store-nya saja dibayar sama pemilik mal supaya kelihatan berkelas," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Johnny, pengusaha lokal saat ini tengah mengeluhkan tingginya harga sewa tempat pada pusat perbelanjaan, ditambah harus bersaing dengan merek asing. Johnny mencontohkan penjual telepon seluler.
Mereka biasanya membayar ongkos pelayanan sebesar Rp 60.000 sampai Rp 180.000 per meter per bulan. Sementara itu, pemegang merek terkemuka bisa mendapatkannya dengan lebih murah atau bahkan bebas ongkos pelayanan.
"Yang membayar lebih banyak di pusat belanja bukan merek besar yang menyewa hampir setengah dari mal tersebut, melainkan penyewa kecil, seperti tukang telepon seluler," ujarnya.
Menurut dia, komponen biaya sewa tempat, biaya layanan, perlu disertai penerbitan aturan atau regulasi dari pemerintah.
"Seperti sepak bola, kalau tidak ada wasit dan aturan bagaimana bisa adil? Komponen ini tidak diatur oleh pemerintah, jadi korbannya pelaku usaha. Jadi, ini peraturannya harus dibenarkan dulu. Kami tidak menyalahkan pemain mal, tetapi peraturannya. Kalau ini tidak dibereskan, bagaimana bisa adil," ujarnya.
Ke depan dia berharap, pemerintah selaku pemangku kepentingan bisa segera menerbitkan aturan terkait biaya sewa tempat dan biaya layanan serta mendukung produk dan usaha lokal.
"Mari kita buat sistem bisnis yang kuat dan sehat, dan ini sudah saatnya dibenarkan dengan pemerintah yang baru. Kita lihat, Presiden terus ke mal, dan ini momen yang tepat," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.