Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Regulasi Soal Gambut Dinilai Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Kompas.com - 29/01/2017, 22:09 WIB
Pramdia Arhando Julianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengelolanya.

Pakar Hukum Universitas Atmajaya Kristianto mengatakan, PP itu menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Menurut Kristianto, hingga kini belum tersedia data valid tentang gambut yang bisa dijadikan acuan implementasi PP gambut. Sementara secara teknis, masih ada perdebatan para ahli gambut tentang pengelolaan gambut berkelanjutan. 

“Ketiadaan data yang valid mengakibatkan kebijakan pengelolaan gambut tidak memiliki landasan yang kuat. Padahal, kebijakan tersebut sudah langsung berdampak di lapangan,” kata dia melalui keterangan resmi Minggu (29/1/2017).

Menurutnya, masih ada beberapa pasal kontroversial dalam PP tersebut. Itu antara lain pemberlakuan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut, menyetop izin yang diberikan untuk pemanfaatan lahan gambut, serta mengatur pengambilalihan lahan yang terbakar oleh pemerintah.

Kristianto menambahkan, langkah pemerintah yang menjalankan kebijakan satu peta (one map policy) patut diapresiasi. Langkah itu akan memperkuat validitas data gambut.

Sayangnya, meski peta acuan hingga kini belum tuntas, namun ada praktik penegakan hukum di lapangan yang akhirnya menyulitkan pengelola lahan gambut.

Sementara itu, Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto mengatakan, PP Nomor 57 tahun 2016 berpotensi mengkriminalisasi sektor usaha perkebunan dan kehutanan, terutama aturan kontroversial yaitu pembatasan tinggi muka air sebesar 0,4 meter.

“Kelihatannya sederhana, hanya pembatasan muka 0,4 meter. Namun itu menjadi masalah serius karena tidak dapat diaplikasikan di lapangan. Dampaknya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat sudah pasti ‘mati’. Tidak mungkin mengikuti aturan tersebut,” kata Didik.

Didik menyinyalir, kriteria kerusakan dalam PP Gambut juga tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang mendalam dan komprehensif. Menurutnya, kriteria tersebut tidak akan mampu dipenuhi para pihak yang melakukan kegiatan budidaya di lahan gambut. Itulah yang disebutnya sebagai alasan yang rawan dikriminalisasi.

Dengan aturan itu, kata Didik, pemerintah seakan menginginkan kematian kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan di sektor pertanian dan kehutanan. Padahal, pemerintah pada dasarnya harus melindungi kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

“Saya setuju apabila semua pihak melakukan class action atas peraturan pemerintah itu,” kata Didik.

Sebelumnya, Himpunan Gambut lndonesia (HGI) telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No 71 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pasalnya, isi PP No 57 tahun 2016 dinilai merugikan masyarakat dan pengusaha yang menggarap lahan gambut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Spend Smart
Apa Itu 'Cut-Off Time' pada Investasi Reksadana?

Apa Itu "Cut-Off Time" pada Investasi Reksadana?

Earn Smart
Mengenal Apa Itu 'Skimming' dan Cara Menghindarinya

Mengenal Apa Itu "Skimming" dan Cara Menghindarinya

Earn Smart
BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

Whats New
Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Whats New
CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

Whats New
Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Earn Smart
HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Whats New
KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

Rilis
Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Whats New
Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan 'Daya Tahannya'

Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan "Daya Tahannya"

Whats New
“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com