Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perluasan Perkebunan Kentang Disebut Jadi Pemicu Banjir Wonosobo

Kompas.com - 28/02/2017, 14:00 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Luasnya perkebunan kentang di Dieng, Wonosobo Jawa Tengah turut memicu erosi tanah yang menjadi salah satu penyebab banjir dan longsor yang belum lama terjadi di daerah tersebut.

Dataran Tinggi Dieng mayoritas terdiri dari lereng bukit dan pegunungan yang curam. Pada musim hujan seperti sekarang ini, akar pendek yang dimiliki tanaman kentang tidak dapat menahan keutuhan tanah sehingga mudah terkena erosi.

Hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengenai penanggulangan bencana di Dieng menunjukkan, tingginya harga kentang di pasaran mendorong para petani untuk terus menanamnya, meskipun dampaknya sangat berbahaya bagi lingkungan dan bagi keselamatan mereka sendiri.

Dari tahun 2011 sampai 2015, total luas lahan kentang di Wonosobo meningkat 11 persen dari 3.088 hektar menjadi 3.431 hektar.

Sebagai alternatif, tanaman seperti carica dan terong belanda memiliki akar lebih panjang yang membuatnya mampu mencegah terjadinya erosi tanah secara lebih baik.

Tanaman-tanaman ini memerlukan lebih sedikit pupuk dan pestisida dibanding kentang, sehingga biaya produksinya pun lebih murah.

"Bencana tragis seperti ini dapat dihindari jika tanaman alternatif dan potensi sumber daya hutan negara dapat dimaksimalkan oleh warga desa," ujar Peneliti bidang Perdagangan dan Kesejahteraan Rakyat CIPS, Hizkia Respatiadi dalam keterangannya, Selasa (28/2/2017).

Selain itu, kebijakan pemerintah yang memberikan hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan milik negara harus dapat dimaksimalkan oleh warga desa setempat sebagai salah satu sumber penghasilan.

Kebijakan ini memerlukan kerjasama yang baik dengan warga desa-desa tetangga, kalangan pengusaha, dan Perum Perhutani.

Meski demikian, para petani tidak bisa begitu saja beralih dari kentang jika harganya di pasaran masih tinggi.

Mengurangi pembatasan kentang impor, sebagai bagian dari komitmen pemerintah dalam perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN, seyogyanya dapat membuat pasar kentang menjadi lebih kompetitif.

Pada akhirnya, para petani akan terdorong untuk mencoba beralih ke sumber penghasilan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan aman bagi keselamatan mereka.

Oleh karena itu, amatlah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat dari alternatif tersebut baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.

"Dengan demikian, kita dapat mencegah terjadinya bencana yang serupa di masa yang akan datang dan tetap menyediakan sumber penghasilan bagi mereka," pungkas Hizkia.

Kompas TV Sedikitnya 50 hektar tanaman padi siap panen di Jembrana Bali, rusak parah akibat diterjang banjir. Selain merusak tanaman padi, banjir juga membawa material pasir dan bebatuan, hingga menutupi saluran irigasi. Banjir sempat menggenagi 145 hektar tanaman padi di Jembrana, Bali. Sedikitnya 50 hektar tananam padi rusak parah. Banjir juga menyisahkan material pasir dan bebatuan yang menutupi saluran irigasi. Akibatnya, 145 hektar tanaman padi di kawasan ini terancam kekurangan air. Para petani dibantu TNI membersihkan material yang menutupi saluran irigasi. Mereka berharap pemerintah mengirim bantuan alat berat untuk memudahkan pembersihan saluran irigasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com