Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Rp 200 Juta, Golongan Kaya, dan Ketimpangan

Kompas.com - 08/06/2017, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Pemerintah kembali membuat kejutan terkait aturan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Sebelumnya, banyak pihak sedikit kaget dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Kaget karena Perppu tersebut tak hanya mengatur soal keterbukaan akses informasi untuk Warga Negara Asing (WNA) dalam rangka implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (autimatic exchange of financial account information/AEoI) antarnegara.

Perppu tersebut ternyata juga mengatur keterbukaan akses informasi keuangan untuk wajib pajak domestik. Artinya, Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia bisa mengakses langsung rekening wajib pajak di bank, asuransi, sekuritas, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Sebelum ada Perppu tersebut, Ditjen Pajak melalui Menteri Keuangan harus terlebih dahulu meminta izin Otoritas Jasa Keuangan atau pengadilan untuk mengakses rekening wajib pajak di lembaga keuangan.

Aturan ini tak pelak menandai era baru dalam sistem perpajakan Indonesia. Ditjen Pajak kini bisa mengetahui secara pasti berapa potensi pajak yang  bisa diterima negara. Tak ada lagi tempat persembunyian uang di dalam negeri untuk menghindari pajak kecuali di bawah bantal.

Belum habis perbincangan mengenai Perppu 1/2017, banyak pihak kembali dibuat terkejut dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. PMK 70/2017 ini merupakan aturan turunan dari Perppu 1/2017.

Terkejut karena perbankan di Indonesia wajib melaporkan rekening-rekening milik pribadi dengan saldo minimal Rp 200 juta. Lembaga keuangan lain seperti asuransi, sekuritas, dan koperasi juga memiliki kewajiban yang setara.

Kehebohan pun terjadi. Bagi penyelenggara negara yang terbiasa menerima cipratan sana-sini, tentu aturan tersebut akan menjadi mimpi buruk. Sebab, akan menjadi pertanyaan oleh Ditjen Pajak, mengapa kekayaan Anda sungguh luar biasa, tidak sebanding dengan gaji yang Anda peroleh.

Aturan ini sudah pasti akan menjaring seluruh penyelenggara negara yang nakal serta para pelaku korupsi dan pencucian uang. Sebab, tidak mungkin para koruptor memiliki kekayaan di bawah Rp 200 juta.

Sementara bagi wajib pajak yang selama ini patuh melaporkan kekayaannya dan mendapatkan kekayaannya itu dari cara-cara yang halal, tentu akan tenang-tenang saja dengan aturan ini alias tidak terpengaruh. Toh, seluruh simpanannya di bank sudah dilaporkan saat membuat Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan.

Menengah ke atas

Terlepas dari kehebohan yang timbul, menarik untuk menelusuri lebih jauh mengapa angka Rp 200 juta yang ditetapkan pemerintah sebagai batas saldo minimal rekening yang harus dilaporkan ke Ditjen Pajak.

KOMPAS.com/YOGA SUKMANA Menteri Keuangan Sri Mulyani
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, batas minimal saldo pelaporan rekening itu sudah dipertimbangkan dengan matang.

"Mayoritas masyarakat yang bersaldo di atas Rp 200 juta itu adalah mereka yang biasanya sudah melakukan kepatuhan pajak, membayar berdasarkan pajak penghasilan yang sudah dipotong," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/6/2017).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com