Dari laporan lembaga studi perburuhan Verite, diketahui bahwa sekitar 116.000 buruh pabrik elektronik di Malaysia tidak diperlakukan sebagaimana karyawan, melainkan seperti praktik perbudakan modern.
Para pekerja tersebut diwajibkan untuk bekerja keras, namun tidak mendapatkan uang lembur jika waktu kerja telah terlampaui. Selain itu, para buruh itu juga tidak mendapatkan gaji yang layak atas pekerjaan yang dilakukan.
Sebagaimana dikutip dari AFP, Kamis (18/9/2014), Verite menyebutkan bahwa studi yang dilakukan itu didanai oleh Pemerintah AS, yang menaruh perhatian terhadap isu-isu perburuhan. AS akan melarang barang-barang impor yang dalam proses produksinya melanggar hak-hak para pekerja.
"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tenaga kerja di industri elektronik Malaysia lebih menderita dan terisolasi. Dan ini mengindikasikan kondisi serupa dalam tataran yang lebih luas," tulis Verite.
Industri elektronik merupakan salah satu roda penggerak perekonomian Malaysia, dan menjadi penyuplai utama berbagai komponen elektronik seperti semikonduktor, komponen komputer, peralatan elektronik rumah tangga, dan sebagainya.
Sejumlah merek global yang mendapatkan pasokan komponen dari Malaysia antara lain Apple, Samsung, Sony dan sebagainya. Sementara itu, negara asal para tenaga kerja tersebut adalah Indonesia, Nepal, India, Vietnam, Banglades dan Burma.
Veritas juga menyebutkan bahwa sekitar 94 persen tenaga kerja tersebut harus menyerahkan paspor mereka dan dari jumlah itu, sebagian besar pesimistis bisa mendapatkan kembali dokumen keimigrasian itu.
Malaysia merupakan negara yang relatif lebih makmur jika dibandingkan dengan negara di sekitarnya. Akan tetapi, para aktivis perburuhan global kerap mengkritik kondisi yang harus dihadapi oleh pekerja migran yang bekerja di negara tersebut.