Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Banyak Penggiling Padi Kecil Keluhkan Mahalnya Pasokan Gabah

Kompas.com - 24/04/2016, 10:30 WIB
Pramdia Arhando Julianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pertanian tengah menjalankan program serap gabah petani yang dinamakan ‘sergap’. Dengan program itu, pada musim panen raya ini, hingga minggu ketiga April, penyerapan beras oleh Bulog hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.

April 2015, penyerapan beras oleh Bulog mencapai 287.035 ton. Pada April 2016 telah mencapai 626.299 ton.

Hal ini berarti pemerintah sudah hadir melalui Bulog dalam menstabilkan pasokan dan harga beras.

Namun demikian, diperkirakan Bulog tidak akan mampu memenuhi penyerapan gabah yang ditargetkan oleh pemerintah pada musim panen raya ini mencapai 4 juta ton setara beras.

Pengamat pertanian Husein Sawit mengatakan, kondisi saat ini, 40 persen penggilingan padi kecil mengaku kesulitan dalam mendapatkan pasokan gabah.

Mereka tidak bisa membeli gabah karena harganya sudah relatif tinggi. Hal ini tentunya tidak akan terjadi jika memang terdapat surplus produksi.

Indikasi peningkatan harga pun terungkap melalui data BPS. Berdasarkan data perkembangan mingguan harga eceran beberapa komoditis strategis yang di keluarkan BPS, harga beras termurah pada April 2015 sebesar Rp 9.767 per kilogram.

Sementara harga beras termurah pada April 2016 minggu ketiga, mencapai Rp 10.406 per kilogram.

Menurut Direktur INDEF Enny Srihartati, permasalahan beras saat ini disebabkan rapuhnya kelembagaan Bulog.

“Bulog inikan bapaknya banyak, ada Kementan, Kemendag, BUMN, Kemensos, dan TNI. Siapapun yang menjadi Dirut Perum Bulog pasti akan mengalami kesulitan dalam menghadapi model kelembagaan seperti ini,” ujar Enny.

Dugaan maladministratif

Terkait dengan karut marut perberasan saat ini, anggota Ombudsman bidang Agraria dan Pertanian Ahmad Alamsyah Saragih menyampaikan adanya dugaan maladmisinistrasi dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan beras saat ini.

Terdapat tujuh indikator terhadap adanya dugaan tersebut. Pertama, pragnosa tak akurat akibat data ketersediaan lahan tidak bersumber dari pemegang otoritas (BPN).

Kedua, adanya penjualan pupuk bersubsidi. Petani kecil perlu biaya hidup selama proses produksi, menjual pupuk bersubsidi menjadi pilihan yang rasional.

Ketiga, pelibatan aparat TNI. Hal ini bertentangan dengan syarat syarat operasimiliter non-perang (UU TNI).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com