Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Proteksionisme Trump, Saat AS Rasakan Getirnya Pasar Bebas

Kompas.com - 17/11/2016, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

KOMPAS.com - Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS direspon beragam. Di satu sisi, pelaku ekonomi AS senang dengan janji Trump yang ingin mengembalikan kejayaan ekonomi negara Adi Daya itu.

Sementara di sisi lain, kebijakan Trump dianggap sangat mengkhawatirkan utamanya oleh negara-negara emerging market.

Langkah Trump untuk menaikkan tarif impor hingga 45 persen untuk produk-produk buatan China serta 30 persen untuk produk-produk dari Meksiko berpotensi menghambat perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bagaimanapun, ekonomi Indonesia juga tergantung pada China. Ketika ekonomi negara Tirai Bambu itu melambat, ekspor komoditas asal Indonesia ke negara itu juga bakal terdampak.

Dengan melakukan pembatasan pasar dalam negerinya dari produk-produk impor, Trump haqqul yakin bahwa ekonomi AS kembali bergeliat, dan serapan tenaga kerja berjalan lebih baik.

Trump merindukan ekonomi AS saat industri dalam negerinya mampu menguasai pasar domestik di negaranya sendiri. Melalui slogan "Make America Great Again", Trump kemudian mencetuskan proteksionisme dagang.

Konsensus Washington

Bagaimanapun, AS selama ini telah menjadi lokomotif liberalisasi ekonomi lewat berbagai inisiatif, yang dilakukan melalui berbagai lembaga internasional.

Satu hal yang paling dicatat adalah, digulirkannya Washington Consensus pada 1989, yang merupakan pedoman bagi negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah perekonomiannya.

Dengan memosisikan sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, maupun Departemen Keuangan AS sebagai aktor utama, konsensus tersebut ingin mendorong stabilisasi ekonomi di berbagai negara dengan pendekatan pasar.

Ada 10 poin yang menjadi rujukan dalam konsensus tersebut, yakni displin fiskal dengan menghindari besarnya defisit terhadap PDB, mengalihkan subsidi ke sektor lain seperti pendidikan, kesehatan dan investasi infrastruktur.

Poin selanjutnya adalah reformasi pajak melalui perluasan basis pajak dengan besaran yang moderat, suku bunga acuan yang didasarkan pada pasar, nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi perdagangan dengan memangkas berbagai hambatan dengan menerapkan tarif yang seragam dan mengurangi perizinan.

Hal lain yang digagas dalam konsensus tersebut adalah kebebasan untuk melakukan investasi langsung, privatisasi BUMN, deregulasi pasar kecuali berkaitan dengan proteksi lingkungan dan perlindungan konsumen, dan terakhir adalah pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual.

Seiring dengan itu, berbagai negara mulai mengamalkan 10 resep yang ada pada Washington Consensus. Salah satunya adalah dengan membuka seluas-luasnya pasar domestik, baik secara unilateral maupun multilateral.

Dalam konteks multilateral, perjanjian perdagangan bebas diteken melalui WTO, North American Free Trade Agreement (NAFTA), APEC, dan sebagainya. Termasuk Trans Pacific Partnership (TPP) yang digagas bersama negara-negara di kawasan Pasifik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com