Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Melihat Perspektif

Kompas.com - 01/10/2013, 10:24 WIB

                                                               Rhenald Kasali
                                                             @Rhenald_Kasali

Salah satu latihan yang disukai anak-anak di sekolah kami adalah latihan perspektif. Ada sebuah gunungan di tengah-tengah meja yang membuat seorang anak yang duduk di satu sisi hanya bisa melihat benda-benda yang tampak di depang gunung yang menghadap ke dirinya.

Ketika ditanya guru, apa saja yang bisa ia lihat dari sisinya sambil duduk, anak-anak menyebut semua benda yang tampak di depannya dengan baik. Di situ tampak seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil. “Sekarang, bisakah engkau melihat yang aku lihat dari sini?,” tanya bu guru yang duduk di sisi seberang. Anak itu menggelengkan kepalanya.

Mereka lalu bertukar tempat duduk. Anak itu tersenyum. Ia lalu menyebut apa saja yang ia lihat dari sisi belakang gunung. “Seekor burung hantu, tulang tengkorak, pohon cemara dan ada orang,” ujarnya.

“Sekarang, bisakah engkau melihat apa yang aku lihat dari sini?,” tanya bu guru. Anak itu mengangguk-anggukan kepala . “Ya!,” ujarnya mantap. “Seekor kambing, pohon kelapa dan sebuah mobil.” Ia lalu menyebutkan semua benda yang ada di atas meja, baik yang hanya bisa dilihat dari sisinya maupun dari sisi yang dilihat gurunya.

Belajar “Melihat”

Berulangkali saya mengatakan, perubahan tidak mungkin bisa dilakukan selama manusia gagal diajak melihat.  Silahkan mengadah ke langit. Anda bisa saja berujar, “langit berwarna biru.” Teman di sebelah Anda enggan menoleh ke atas, ia hanya berujar pendek, “tak biru lagi.” Atau “tak semuanya biru”, “hanya sebagian biru,” bahkan “tak sama birunya.”

Sudah hampir pasti setiap perubahan selalu menimbulkan guncangan, atau bahkan mendorong orang melakukan demo. Begitu ada yang berubah, manusia Indonesia belakangan ini menjadi lebih ekspresif dan reaktif.

Seorang diplomat asing yang senang melihat demokrasi di Indonesia berujar, “Di negara saya, orang berpikir dulu, lalu mengambil tema dan turun ke jalan. Di Indonesia, begitu bangun tidur, orang punya kecenderungan berbicara dan mengajak orang lain berdemo.”

Untuk apa berdemo kalau suara satu orang saja bisa didengar? Jawabnya jelas, untuk menimbulkan perhatian. Bahkan bisa juga untuk mengancam. Tetapi benarkah demo selalu dilakukan untuk kebaikan banyak orang dan demi perubahan yang lebih baik?

Di UI saya pernah menerima petisi dari satu kelas mahasiswa S3 yang minta jadwal ujian preliminary ditunda satu bulan. Ujian itu sebelumnya tak pernah ada karena program studi sebelumnya diurus mereka yang tidak pernah sekolah doktor berbasiskan kuliah.

Begitu ditata ulang dan diperbaiki, tentu para mahasiswa itu “kegerahan”. Namun setelah saya susuri, ternyata penyebabnya hanya 1 orang yang takut tidak bisa mendapat nilai bagus.

Saya pun memanggil mereka satu persatu dan memisahkan “alang-alang dari padinya“. Akhirnya sumbernya ditemukan. Satu orang yang gelisah telah memprovokasi orang-orang yang siap ujian. Orang-orang baik yang siap mengikuti ujian ternyata kalah mengikuti kehendak satu orang yang paling lemah.

Setelah diajak berdialog, orang yang paling aktif dan galak menentang jadual ujian secara  beramai-ramai ternyata adalah orang paling cengeng ketika dihadapi seorang diri.  Sejak saat itu saya menerapkan peraturan, dilarang mengajukan protes beramai-ramai, sebab suara satu orang pun pasti didengar.

Saya memberikan nomor telpon saya kepada seluruh mahasiswa dan mereka boleh protes apa saja. Syaratnya hanya satu: jadilah pemberani yang terbuka. Saya pun wajib mendengarkan dan mencarikan jalan untuk masa depan mereka. Tidak sulit bukan? Tetapi masalahnya, masalah satu orang seringkali dipaksakan menjadi masalah banyak orang dan ini tentu keliru.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sudah Masuk Musim Panen Raya, Impor Beras Tetap Jalan?

Sudah Masuk Musim Panen Raya, Impor Beras Tetap Jalan?

Whats New
Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Whats New
Pasokan Gas Alami 'Natural Decline', Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Pasokan Gas Alami "Natural Decline", Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Whats New
BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Work Smart
Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Whats New
Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Work Smart
Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com