"Tapi sekarang terbalik, kita harus kembalikan. Kan baru 20 tahun yang lalu kan. Sekarang kita di persimpangan mau pilih ke mana (menjadi negara produsen atau konsumen)" kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini di Jakarta, Kamis (28/8/2015).
Menurut dia, Indonesia perlu mengelola sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada. Indonesia tidak bisa terus mengandalkan ekspor komoditas ke depannya. "Kita punya SDM (sumber daya manusia) yang nganggur 7,5 persen atau 7,5 juta yang betul-betul nganggur, enggak bisa ngapa-ngapain. Tetapi, kalau ditambah mereka yang kerja enggak dibayar, ditotal bisa 30 juta orang," kata dia.
Hendri juga menilai sudah saatnya bagi Indonesia untuk menata ulang struktur perekonomian. Pemerintah dinilai harus menentukan strategi mendasar perekonomian agar Indonesia tidak lagi terombang ambing di tengah ketidakpastiasn situasi ekonomi global.
Selama ini, pemerintah hanya mengacu pada faktor eksternal ketika menerapkan suatu kebijakan ekonomi. Hendri mencontohkan Tiongkok yang strategi jangka panjangnya memperkuat sektor industri sebelum membuka sektor keuangan.
"Kita ini maunya apa? Kalau tetap seperti tadi, ya akan terombang-ambing terus. China mau buka sektor keuangan membutuhkan waktu tujuh tahun biar industri mereka kuat dulu baru sektor keuangan dibuka sehingga nilai tukar tidak naik turun, suku bunga tidak naik turun. Kan itu pilihan suatu negara. Kita enggak, nah mulai sekarang, setelah 70 tahun merdeka, kita mau menuju ke mana?" Hendri.
Contoh lainnya adalah kebijakan yang diterapkan Thailand dan Tiongkok terkait penanaman modal asing. Thailand mewajibkan dana asing mengendap setelah satu tahun masuk ke negaranya. Sementara itu, Tiongkok menetapkan jangka waktu tiga hingga lima tahun untuk dana asing tersebut mengendap.
"Sementara Indonesia, enggak ada, dan itu dijamin dalam undang-undang penanaman modal," kata Hendri.
Sedianya, lanjut Hendri, masing-masing negara konsisten menyelamatkan perekonomian domestiknya sendiri. Saat menghadapi krisis ekonomi 2008, Tiongkok menerapkan strategi kebijakan yang memberikan kredit kepada negara Asia Pasifik agar industri mereka tetap bisa bergerak.
"Importir enggak disuruh bayar. Cadangan devisa mereka (Tiongkok) 3,69 triliun dollar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 108 miliar dollar AS," sambung Hendri.
Demikian juga dengan Amerika. Negeri Paman Sam itu melakukan perang nilai tukar mata uang dengan Tiongkok demi mempertahankan daya saing. Amerika juga mempertahankan perusahaan mereka tidak diakuisisi Tiongkok.
"Mati-matian enggak akan kasih saham itu dibeli China. Masih ingat soal pelabuhan, saham migas, Chevron, mereka konsen terhadap longterm development (pembangunan jangka panjang) negara itu," ucap Hendri.
baca juga: BI: Indonesia Tidak Krisis!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.