Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ubah Status Jadi IUPK, Freeport Minta Perpanjangan Operasi hingga 2041

Kompas.com - 16/01/2017, 07:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Akhirnya PT Freeport Indonesia mengajukan diri mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi (OP). Tetapi, proposal yang diajukan pada Minggu (15/1/2017) itu meminta beberapa syarat.

Jurubicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengungkapkan, pihaknya telah menyampaikan kesediaan kepada pemerintah untuk berganti menjadi IUPK. Tapi, syaratnya pemerintah menjamin kepastian hukum dan fiskal bagi investasinya.

"Kami baru saja menyampaikan kesediaan untuk konversi menjadi IUPK," ungkap dia ke Kontan, Minggu (15/1/2017).

Proposal perubahan tersebut juga mencantumkan beberapa syarat. Yakni, Freeport meminta kepastian perpanjangan operasi hingga tahun 2041 atau tambahan 20 tahun lagi pasca berakhirnya kontrak tahun 2021. Freeport juga meminta perpajakan tetap atau nail down.

"Kami membutuhkan jaminan fiskal," ujarnya.

Freeport juga telah menyampaikan kepada pemerintah terkait komitmen membangun smelter. Perusahaan ini segera melanjutkan pembangunan, segera setelah hak operasionalnya diperpanjang. "Berdasarkan komitmen-komitmen tersebut, kami berharap, pemerintah segera memperpanjang izin ekspor Freeport," ungkap dia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyatakan, pihaknya memang sudah menerima pengajuan itu. "Informasinya memang demikian," kata dia.

Namun sayang Bambang belum bisa memastikan apakah syarat yang diminta Freeport akan dipenuhi. Bambang juga tak menjawab apakah PT Amman Mineral Nusa Tenggara juga mengajukan diri menjadi IUPK.

Sementara Jurubicara PT Amman Mineral Nusa Tenggara Rubi Purnomo tidak merespons panggilan telepon Kontan dan pesan singkat.

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara, mengatakan, persyaratan yang diminta oleh Freeport sangat tidak rasional dan cenderung berorientasi pada keuntungan diri sendiri. "Pemerintah tidak boleh menuruti aturan tersebut," kata dia.

Menurutnya, pemerintah harus tegas memaksa Freeport membangun smelter atau tidak boleh ekspor konsentrat. Selain itu, pemerintah sebaiknya membiarkan kontrak Freeport sampai tahun 2021 dan melakukan evaluasi apakah dapat diperpanjang atau tidak.

Apalagi sangat memungkinkan setelah tahun 2021 mendatang operasi tambang bekas Freeport bisa dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dan membentuk tim persiapan pengelolaan oleh potensi nasional bekas operasi tambang Freeport .

"Pemerintah harus tegas, bukan malah mengikuti alur kemauan Freeport. Syarat tersebut harus ditolak," tegasnya.

Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso, mengatakan, syarat-syarat itulah yang selama ini diinginkan Freeport sehingga menyandera pembangunan smelter dan divestasi. Namun demikian, jika benar-benar konsisten untuk kepentingan nasional, pemerintah seharusnya tidak memperpanjang kontrak Freeport.

"Kalau Freeport sudah IUPK, seharusnya mengikuti aturan IUPK dan tidak ada pengecualian lagi," ujarnya. (Andy Dwijayanto, Pratama Guitarra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Whats New
Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Work Smart
Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Whats New
17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

Whats New
Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Rilis
Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya 'Serok'?

Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya "Serok"?

Earn Smart
Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Whats New
Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Whats New
Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Whats New
Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Whats New
Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Spend Smart
PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

Whats New
Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com