Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uji Publik Revisi PP Telekomunikasi Menuai Sejumlah Kritik

Kompas.com - 18/11/2016, 21:00 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Peraturan Pemerintah (PP) no 52 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit masih menuai sejumlah kritik dari kalangan pengamat.

Sementara itu, uji publik dua PP telekomunikasi tersebut akan segera berakhir pada 20 November 2016 mendatang.

Kritik pertama datang dari Ridwan Effendi Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB. Dia mengkritik waktu uji publik yang terlalu singkat dan tidak ideal.

“Jika niat Kemenkominfo tulus ingin mendapatkan masukan dari masyarakat, idealnya uji publik terhadap revisi dua PP ini dilakukan dalam kurun waktu 30 hari kerja,” ujar Ridwan melalui keterangannya, Jumat (18/11/2016).

Meski waktu yang diberikan oleh pemerintah sangat minim, Ridwan menyarankan agar masyrakat dapat memanfaatkan waktu tersebut dengan baik guna memberikan masukan dan pendapat terhadap revisi dua PP tersebut.

Ridwan melihat, ada pasal yang memberikan manfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat.

Salah satu kebaikan yang tertuang dalam revisi dua PP tersebut adalah kewajiban bagi operator untuk mendahulukan kepentingan umum dan masyarakat ketika ada bahaya atau terjadi bencana alam.

Namun, ada juga pasal yang berpotensi akan merusak industri telekomunikasi. Misal dalam revisi PP No 53 Tahun 2000, Kemenkominfo berpotensi melanggar UUD dan UU Telekomunikasi.

Pasal Merugikan

Pasal yang dinilai merugikan industri telekomunikasi pasal kewajiban berbagi jaringan atau network sharing antar penyelenggara jaringan telekomunikasi

Sebab dengan diberlakukannya kewajiban berbagi jaringan tersebut, justru berpotensi merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.

“Padahal ketika membangun, kapasitas yang operator sediakan hanya diperuntukan bagi kebutuhannya sendiri. Namun dengan revisi dua PP ini, diwajibkan untuk network sharing, maka jaringan yang tersedia harus dibagi ke operator lain,” ujar Ridwan.

Nah, ketika kemudian ada sewa menyewa jaringan, maka ada perjanjian kualitas layanan yang harus dijaga. Dengan demikian, network sharing ini akan berpotensi buruk kepada operator yang memiliki jaringan atau menyewakan jaringan.

Menurut Ridwan, sebenarnya network sharing ini sudah lazim dilakukan antar operator penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Contohnya saja ketika operator melakukan perjanjian sewa menyewa kapasitas jaringan fiber optic yang dimiliki oleh operator penyelenggara jaringan untuk layanan back bone maupun transmisi antar-BTS.

Sehingga Ridwan beranggapan network sharing tidak perlu diatur atau diwajibkan oleh pemerintah. Sebab selama ini operator telekomunikasi sudah melakukan berbagi jaringan ini dengan skema business to business.

Kritik kedua datang dari Fahmy Radhi, pengamat Bisnis dan Ekonomi UGM. Dia menilai dalam kondisi jaringan belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia, kewajiban network sharing yang terdapat dalam revisi dua PP tersebut justru berpotensi untuk menghambat penambahan pembangunan.

Ini disebabkan operator tidak akan mengambil inisiatif membangun jaringan selama bisa "nebeng" jaringan operator lain. Padahal Indonesia masih memerlukan penambahan jaringan telekomunikasi khususnya untuk daerah terluar dan terpencil.

Menurut dia, revisi dua PP ini hanya akan merugikan negara. "Sehingga revisi PP 52 dan 53 ini harus dicegah dengan membatalkanya,” pungkas Fahmy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Earn Smart
Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com