Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dana Daerah Mengendap

Kompas.com - 07/01/2014, 08:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Total anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang mengendap pada bank umum nasional pada setiap akhir periode anggaran semakin menggelembung. Per 31 Desember 2013, anggaran daerah yang mengendap mencapai rekor tertinggi, yakni Rp 109 triliun.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Heru Subiyantoro dalam keterangan pers bersama pejabat Kementerian Keuangan lainnya di Jakarta, Senin (6/1), menyatakan, anggaran Rp 109 triliun itu adalah total anggaran belanja daerah tahun 2013 yang tidak terserap sampai 31 Desember 2013. Dana itu tersimpan di berbagai tempat. Di antaranya adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Dana mengendap sebesar Rp 109 triliun itu menjadi rekor. Dibandingkan dana mengendap per akhir tahun 2002 senilai Rp 22,18 triliun, maka nilainya sudah hampir lima kali lipatnya.

Per akhir tahun 2009, dana daerah mengendap mulai menggelembung, yakni Rp 59,81 triliun. Pada dua tahun kemudian, nilainya naik menjadi Rp 80,4 triliun, dengan rincian Rp 13,12 triliun di simpanan berjangka, Rp 45,77 triliun di rekening giro yang bunganya kecil, dan Rp 919 miliar di tabungan. Sementara pada akhir tahun 2012, nilainya mencapai Rp 99,24 triliun.

Menteri Keuangan M Chatib Basri, dalam kesempatan yang sama, menyatakan, pihaknya telah menginstruksikan DJPK untuk mencari formula yang tepat untuk mendorong penyerapan anggaran pemerintah daerah. Formulanya lebih-kurang adalah memberikan sanksi kepada daerah yang minim penyerapan.

Skema yang tengah dikaji, kata Chatib, adalah dengan menunda pencairan dana alokasi khusus (DAK). Persoalannya, nilai DAK jauh lebih kecil daripada dana alokasi umum (DAU).

Karena itu, bisa saja penahanan pencairan DAK menjadi tidak efektif. Sementara DAU yang nilainya besar tidak bisa ditahan pencairannya karena kewajiban pemerintah pusat. ”Jadi, lagi dicari formula yang tepat, termasuk jangan sampai melanggar Undang-Undang Otonomi Daerah. Targetnya, tahun ini bisa diberlakukan,” kata Chatib.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, dana mengendap di daerah disebabkan kurangnya kemampuan birokrasi dalam mengelola anggaran. Alih-alih mengonversinya menjadi program pembangunan, anggaran banyak ditabung di BPD.

BPD pun, kata Endi, umumnya tidak mau repot menyalurkan anggaran tersebut menjadi kredit produktif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. BPD lebih gemar membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan harapan mendapatkan bunga. Bunga ini secara formal akan masuk mata anggaran lain-lain dalam pendapatan asli daerah (PAD).

Di berbagai daerah, hasil bunga tersebut kemungkinan tidak masuk ke PAD, tetapi masuk ke kantong kepala daerah dan kroninya. Dalam modus ini, anggaran sengaja diinvestasikan untuk kepentingan pribadi.

”Singkatnya, ini adalah cara malas mengelola uang. Di samping faktor birokrasi yang kurang mampu menyerap anggaran, ada juga faktor pemda yang sengaja ingin mendapatkan PAD tanpa susah-susah. Juga ada kecurigaan sebagai modus untuk keuntungan pribadi. Akhirnya rakyat yang dikorbankan,” kata Endi.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto berpendapat, sisa anggaran tak terserap di daerah rawan dimanfaatkan untuk pemilihan umum kepala daerah. Setidaknya modus tersebut sudah terungkap di Kabupaten Situbondo. (LAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com