Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah "Resign" Massal di Pelindo 2 untuk Melawan Perubahan?

Kompas.com - 23/12/2013, 06:45 WIB
Rhenald Kasali
(@Rhenald_Kasali)
    
Berkali-kali saya katakan perubahan itu pahit. Dan, tak akan ada pembaruan di negeri ini kalau kita tak punya orang-orang yang berani memimpin perubahan. Sebab, memimpin perubahan itu tidak populer, dibenci banyak orang yang tak mau berkorban dan berbahaya.

Seperti itulah yang tengah kita saksikan di Pelabuhan Tanjung Priok. Bak disambar geledek, suatu hari Dahlan Iskan menerima pesan dari Dirut Pelindo 2 bahwa salah seorang direksi beserta jajarannya melakukan pengunduran diri alias resign massal.

Kita semua tahu resign dalam bekerja adalah persoalan biasa, tetapi “resign massal” mengandung konotasi lain: menuntut perhatian, sebuah perlawanan, solidaritas kelompok, ingin mempermalukan, sebuah tanda ketidakberesan, bahkan mungkin juga berkonotasi sabotase. Jadi di Pelindo 2 ini yang mana?  

Ikut perubahan atau ikut anak buah

Apa pun yang terjadi, kita harus melihat kasus ini dari konteks perubahan. R J Lino, sama seperti Ignatius Jonan (Dirut PT KAI) dan Emirsyah Satar (Garuda Indonesia), adalah CEO yang khusus direkrut Kementerian BUMN beberapa tahun lalu untuk melakukan perubahan.

Dalam berbagai kesempatan, saya bertemu dengan ketiga CEO itu karena mereka selalu muncul bergantian menjadi nomine CEO terbaik pilihan akademisi dan media massa. Saya juga beberapa kali berinteraksi dengan anak buah mereka baik yang siap berubah, yang banyak komplain, dan yang antiperubahan.

Saya kira kita semua paham, mereka bertiga ditempatkan dalam medan yang supersulit. SDM perusahaannya tua-tua (saat mereka bergabung rata-rata usia pegawai 45-47 tahun), kultur korupsi dan guyubnya sangat kental, serikat pekerjanya sangat solid, dan diisi orang-orang lama yang butuh perhatian dan kekuatan kelompok.

Selain itu, pendapatan perusahaan (sebelum mereka masuk) tidak optimal, cashflow-nya disimpan di bank (tidak diinvestasikan), semua eksekutif punya mainan sendiri-sendiri, tidak ada alignment vertikal maupun horizontal, tak ada investasi-investasi baru, dan masalah baru terus bermunculan. Bahkan perusahaan rugi pun tak ada yang peduli. Anehnya, turnover pegawai amat rendah.

Para change leader itu pun masuk dengan seribu satu ancaman. Padahal, mereka sudah mapan dalam posisi mereka sebelumnya. Dan demi menyatukan institusi, "mainan" orang perorangan dikembalikan pada perusahaan. Siapa sih yang bisa menerima mereka? Kalau mereka merapikan SDM dan mendatangkan profesional-profesonal muda, siapa sih yang melawan? Ya, Anda benar: serikat pekerja.

Bukankah para senior yang menghadapi perubahan itu dan sebentar lagi pensiun akan merasa terancam? Sebenarnya kalau mereka mau mengubah sikap menjadi kooperatif saja tak akan ada masalah. Masalahnya, di dalam cohort itu terdapat tradisi saling melindungi yang berawal dari kebiasaan bagi-bagi rezeki dengan cara-cara lama.

Tradisi-tradisi seperti itu tentu harus diubah, dan tak ada kompromi bagi seorang change leader. Kita tentu tak bisa berpura-pura lugu bahwa itu tak ada sama sekali di sini, hanya menuduh tanpa bukti dan seterusnya.

Tetapi, nanti dulu. Generasi yang lebih tua sudah biasa melindungi anak buah yang juga pernah menyervis kita bukan? Jadi, amat sangat biasa surat hukuman tidak ditandatangani, bahkan tidak diteruskan kepada yang bersangkutan.

Kita menjadi takut berhadapan dengan anak-anak buah yang tahu sebagian besar “rahasia” kita.  Bukan hal baru, banyak manajer dalam institusi yang menjadi feodal itu selalu mengatakan begini "Sebentar ya saya tanya anak-anak dulu ya,". Lho, kok manajer minta pendapat anak buahnya?

Jadi kita ini mau bersekutu dengan siapa?

Dengan bos baru yang belum kita kenal yang memimpin perubahan ataukah dengan anak buah yang melindungi kita?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com