Dia memaparkan, ada empat tolok ukur bahwa sebuah negara dikatakan berdaulat energi. Pertama, ketersediaan minyak (availability). Maksudnya, yakni asal dan sumber energi tersebut ada di dalam negeri.
Kedua, keterterimaan (acceptability). Dia menjelaskan, energi dapat diterima dan dipertimbangkan oleh lingkungan. "Tidak polutif seperti batubara. Minyak ini gampang diterima, gampang diubah bentuknya, serta gampang disalurkan," kata Hendrajit dalam diskusi bertajuk Migas untuk Rakyat, dihelat KAMMI, di Jakarta, Minggu (21/9/2014).
Ketiga, keterjangkauan (affordability) biaya dan daya belinya. Misalnya, dia mencontohkan, tolok ukur ini yang menjadi perhatian Tiongkok, di mana ketersediaan minyak mereka dari Timur Tengah lebih mudah disalurkan melalui Laut China Selatan.
"Menjadi sangat beresiko seandainya jalur suplai di kawasan Laut China Selatan terganggu. Makanya Laut China Selatan menjadi krusial, karena AS dan China meyakini Laut China Selatan merupakan sumber penguasaan strategis," ucap Hendrajit.
Tolok ukur keempat, aksesibilitas (accesibility). Dia mencontohkan lagi aksesibilitas minyak Tiongkok yang sangat diperhatikan oleh pemerintah mereka secara serius.
Sayangnya, lanjut Hendrajit, di Indonesia ini, menteri tak hanya ESDM tapi semua justru mengabaikan aspek geopolitik. Sehingga tidak tahu mana kepentingan besar yang tidak bisa dikompromikan, dan mana kepentingan kecil yang bisa dicari win-win solution.
"Akibatnya, daulat minyak akan terancam, dan berpotensi hilangnya kedaulatan ipoleksosbudhankam. Sepertinya kita harus kembali menghidupkan panca gatra, dan trigatra," kata Hendrajit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.