JAKARTA, KOMPAS.com — Utang pemerintah dalam kurun 5 tahun terakhir sudah naik Rp 1.385 triliun. Namun, sebagian dari penarikan utang tersebut justru tidak digunakan untuk hal yang produktif, tetapi untuk membayar utang terdahulu.
Masih defisitnya keseimbangan primer jadi faktor utama pemerintah harus menarik utang untuk membayar utang. Lantas apakah pemerintah merasa terbebani dengan hal itu?
"Utang terdahulu kan dipakai untuk membangun infrastruktur juga, kalau infrastuktur memberikan hasil yang baik, ya kita senang," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan di Jakarta, Rabu (17/8/2016).
Menurut dia, utang yang ditarik pemerintah jangan hanya dinilai sebatas beban, tetapi juga manfaatnya.
Selama ini, tutur Robert, utang luar negeri juga cukup membantu pemerintah mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada level 4 persen-5 persen per tahun.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia lumayan bagus dibandingkan banyak negara di dunia di atas 5 persen. Itu kan di-create oleh itu juga (utang). Jadi jangan hanya lihat bebannya saja," kata dia.
Sementara itu, berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, utang pemerintah sebesar Rp 3.362 triliun per Juni 2016. Perkiraan rata-rata tingkat bunga utang yang dibayarkan pemerintah yakni 5,2 persen.
Bila melihat data 5 tahun terakhir, utang pemerintah mengalami lonjakan cukup signifikan. Pada 2011, misalnya, total utang pemerintah sebesar Rp 1.808 triliun.
Setelah itu, lonjakan utang terus terjadi dari menjadi Rp 1.977 triliun pada 2012, Rp 2.375 triliun pada 2013, Rp 2.608 triliun pada 2014, dan Rp 3.362 pada 2015.