Seusai lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada 1990, Rudi mengadu nasib ke Jakarta. Dia tinggal di rumah pamannya, di daerah Kampung Pulo, Jakarta Timur. Waktu itu, Rudi bekerja serabutan, mulai dari menjadi kenek bus kota, pedagang kaki lima, sampai pengemudi taksi.
”Saya jadi kenek bus karena berpikir kerja apa saja, asal jangan menganggur dan halal. Paling susah jika saya harus ketemu preman, pungli, dan bergelantungan di pintu bus,” tutur dia.
Untunglah Rudi belum pernah terlibat baku hantam karena dia biasanya mengalah. ”Saya jadi kenek bus sekitar tiga bulan. Saya tak bisa jadi sopir karena waktu itu belum bisa menyopir,” kata Rudi yang penghasilannya sebagai kenek bus hanya sebesar Rp 5.000 per hari.
Rudi pernah menjual jam tangan di Pasar Mester, Jatinegara, Jakarta. Selain itu, dia juga menjadi pengemudi metromini dan bus kota. Pendapatannya saat menjadi sopir meningkat menjadi Rp 15.000 per hari.
Meski penghasilannya minim, Rudi sudah berpikir jauh dengan meningkatkan kemampuan dirinya. Saat teman-temannya menghabiskan uang untuk bersenang-senang, dia mengambil kursus komputer selama delapan bulan. Rudi memegang prinsip, tidak ada yang tak mungkin untuk meraih masa depan lebih cerah.
”Saya ingin kehidupan yang lebih baik, maka saya mencari ilmu. Ilmu itu tidak akan habis. Berkat kursus komputer, saya diterima bekerja di pabrik keramik pada tahun 1995,” ujar dia.
PegawaiRudi kemudian menjadi pegawai pengontrol mutu di pabrik di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Gajinya hanya Rp 4.600 per hari. Namun, dia merasa beruntung tinggal di mes pegawai sehingga tak perlu memikirkan biaya tempat tinggal. Di mes itulah, Rudi kerap melihat ayam-ayam potong yang diternakkan.
”Ada pegawai yang ternak kecil-kecilan. Saya lihat dalam 30 hari saja sudah panen. Ini lumayan untuk penghasilan tambahan, saya jadi tertarik,” ujar dia.
Rudi pun mencari lahan untuk membangun peternakan. Dia mendapat informasi dari pegawai lain, banyak lahan yang disewakan di daerah Serang, Banten.
Setelah menjadi pegawai selama beberapa bulan, Rudi memutuskan keluar. Dia ingin beternak ayam. Pada 1996, dengan berbekal uang Rp 3,5 juta dari pesangon ditambah tabungan, dia mendirikan kandang untuk 2.000 ayam dengan biaya Rp 1,9 juta. Dia menyewa lahan seluas 5.000 meter persegi.
”Sewa lahan itu dihitung berdasarkan jumlah ayam, besarnya Rp 100 per ekor. Waktu itu, saya belum dibantu pegawai karena uangnya tidak cukup,” ucap Rudi.
Panen pertamanya berlangsung setelah 35 hari. Penghasilan dari panen sebesar Rp 1,5 juta dia gunakan untuk membuat kandang lagi.
KrisisNamun, hantaman krisis moneter tahun 1997 membuat Rudi bangkrut. Harga pakan serta bahan baku yang masih diimpor naik dua kali lipat. Sementara harga jual ayam potong tak berubah. Sewaktu masih beternak, pembayaran dari tengkulak juga lambat dia terima.
”Pembayaran (dari tengkulak) menunggu ayam habis dijual kepada para pedagang di pasar. Ini bisa sampai satu bulan baru lunas. Saya terpaksa harus sering mencari tengkulak,” kata dia.
Setiap bertemu pun, tengkulak membayar dia dengan mencicil. Setelah krisis mendera, Rudi terpaksa menyewakan kandangnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sewa kandang itu besarnya Rp 250 per ayam. Selain itu, dia juga menjadi tukang bongkar muat sangkar ayam yang diangkut mobil.