Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merger XL-Axis Tak Direstui KPPU

Kompas.com - 17/12/2013, 14:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Merger XL-Axis untuk sementara tak dapat berlanjut. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah memutuskan untuk menunda proses merger karena berpotensi memunculkan monopoli dan praktik persaingan tidak sehat.

Kalangan DPR pun mengapresiasi keputusan KPPU itu karena sejak awal mereka banyak menemukan kejanggalan yang berpotensi merugikan negara.

Menurut anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya, salah satu kejanggalan yang mengemuka adalah pemberian frekuensi 1800 MHz secara langsung merupakan pelanggaran prosedur.

Seharusnya, jika mengacu pada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) maupun blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G). Setelah itu baru direalokasikan kembali dengan cara seleksi dan evaluasi, sesuai Permenkominfo No 17 Tahun 2005 dan Permenkominfo No 23 Tahun 2010.

Menurut Tantowi, jika pemerintah menginginkan pemasukan negara yang maksimal, seharusnya mereka mengalokasikan frekuensi 2100 MHz (3G) kepada XL karena harga per MHz frekuensi ini jauh lebih mahal daripada 1800 MHz (2G) sehingga Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga maksimal.

"Yang terjadi saat ini pemerintah justru memberikan 1800 MHz kepada XL yang notabene lebih murah, alias menghilangkan potensi keuntungan yang lebih besar. Jika frekuensi 2100 MHz ditender lagi, belum tentu para operator berminat karena mereka sudah punya blok yang mencukupi. Makin besarlah kerugian negara," katanya.

Dia mengatakan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah instansi yang paling tepat dalam mencermati merger ini. Dengan demikian, dapat dilakukan pencegahan potensi kerugian negara.

Di sisi lain, Tantowi juga menyatakan, jika skenario merger yang dirancang Menkominfo Tifatul Sembiring berjalan mulus, maka hal itu sama saja dengan memberikan keleluasaan pada operator asal Malaysia untuk mendominasi industri telekomunikasi nasional.

Dalam hal ini dengan cara memperoleh tambahan spektrum tanpa dibebani modern licensing yang mengikat layaknya operator GSM dalam memperoleh alokasi frekuensi tambahan.

Ini akan menjadi sangat janggal jika pemerintah tidak membebani XL dengan kewajiban pembangunan yang seimbang dengan operator yang dialokasikan frekuensi dengan jumlah yang hampir sama, seperti Indosat dan Telkomsel.

Politisi dari Partai Golkar ini mengamini pendapat Komisioner KPPU Muhammad Syarkawi Rauf yang menyebutkan bahwa pascamerger, terdapat perbedaan proporsi kepemilikan spektrum frekuensi yang tidak menunjukkan asas fairness.

Sesuai surat keputusan Menteri, XL Axiata-Axis akan memiliki spektrum sebesar total 45 MHz dengan 7.5 MHz di pita 900, 22.5 MHz di pita 1800 MHz, dan 15 MHz di pita 2100 MHz.

Jumlah total spektrum itu menyamai jumlah total spektrum Telkomsel yang memiliki 45 MHz dengan 7.5 MHz di pita 900 MHz, 22.5 MHz di pita 1800 MHz, dan 15 MHz di pita 2100 MHz.

Di sinilah letak kejanggalannya karena, dengan jumlah spektrum yang sama dengan Telkomsel, padahal dari sisi kewajiban layanan XL-Axis lebih ringan karena jumlah pelanggan keduanya jika dijumlah baru sekitar 60 juta pengguna.

Memang melebihi jumlah pelanggan Indosat yang melayani 55 juta, tetapi belum mampu menyamai Telkomsel yang harus melayani 128 juta pelanggan.

Dengan jumlah pelanggan XL yang hanya setengah jumlah pelanggan Telkomsel, tentu akan mengakibatkan ketimpangan persaingan usaha. (Sanusi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kunker di Jateng, Plt Sekjen Kementan Dukung Optimalisasi Lahan Tadah Hujan lewat Pompanisasi

Kunker di Jateng, Plt Sekjen Kementan Dukung Optimalisasi Lahan Tadah Hujan lewat Pompanisasi

Whats New
Sudah Masuk Musim Panen Raya, Impor Beras Tetap Jalan?

Sudah Masuk Musim Panen Raya, Impor Beras Tetap Jalan?

Whats New
Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Whats New
Pasokan Gas Alami 'Natural Decline', Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Pasokan Gas Alami "Natural Decline", Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Whats New
BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Work Smart
Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Whats New
Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Work Smart
Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com