Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Baru, Energi Bukan Lagi Komoditas Ekspor

Kompas.com - 13/06/2014, 17:01 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan Energi Nasional yang disusun Dewan Energi Nasional (DEN) bersama pemangku kepentingan akan mengubah paradigma energi sebagai komoditi ekspor, menjadi sebagai penggerak pembangunan.

Anggota DEN dari akademisi, Tumiran, mengatakan, Kebijakan Energi Nasional yang disetujui DPR pada 28 Januari 2014 lalu akan ditandatangani Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Dalam satu tahun berselang, kebijakan itu harus diimplementasikan dalam bentuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

"Ada paradigma baru, yaitu dikurangi ekspor. Mekanisme pasar dalam negeri diciptakan. Batu bara didorong untuk listrik," kata Tumiran di Kantor DEN, Jakarta, Jumat (13/6/2014).

Dia mengatakan, jika pembangkit listrik terbangun, maka secara otomatis akan diikuti pertumbuhan industri baru. Jika produk industri itu bisa menjadi produk unggulan, maka bisa diekspor sebagai pemasukan Indonesia.

Rinaldy Dalimi, anggota DEN yang lain menuturkan, ada lima poin penting dalam KEN, salah satunya soal perubahan paradigma. "Energi tidak hanya sebagai komoditi ekspor. Energi adalah penggerak pembangunan," katanya.

Dia menjelaskan, sebuah paradigma tentunya tidak bisa terukur. Namun demikian, konsekuensi logisnya adalah pemerintahan ke depan harus mengubah postur APBN yang menempatkan ekspor energi sebagai share yang cukup besar dalam pendapatan negara.

"Energi harus jadi modal pembangunan. Energi bukan dihitung berapa rupiah per ton batubara, tapi berapa nilai tambah. Konsekuensi logisnya adalah pemerintah harus mencarikan pemeran penganti energi dalam APBN," ujarnya.

Dalam kebijakan itu disebutkan pengurangan ekspor energi fosil secara bertahap dan stop suatu saat nanti. Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan penggantinya. Dia bilang, saat ini 75 persen produksi batubara Indonesia diekspor.

"Kapan ekspor energi dihentikan, pemerintah harus memikirkan.Roadmap harus dibuat, sehingga tahu berapa besar yang harus dikurangi," kata Rinaldy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com