Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Bupati Banyuwangi Tolak Mal dan Tak Biasa Undang Pejabat Pusat

Kompas.com - 11/01/2017, 17:00 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Keriuhan Ruang SG Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) mulai surut sebelum pria berusia 43 tahun itu dipanggil untuk berbicara.

Ia adalah salah satu pembicara utama dalam seminar nasional inovasi daerah yang digelar di Kementerian PPN, Jalan Suropati No 2, Jakarta Pusat.

"Kepada Bapak Abdullah Azwar Anas, kami persilakan," kata Desi Anwar, wartawan senior yang menjadi moderator dialog tersebut.

Anas yang merupakan Bupati Banyuwangi lantas beranjak dari tempat duduknya yang berada di atas panggung dan langsung mengambil mikrofon di hadapannya.

Tolak mal

Cerita tentang bagaimana Banyuwangi berinovasi hingga menjadi panutan daerah lainnya tetap jadi menu utama materi pembahasan Anas.

Namun, ia menyisipkan sejumlah cerita di balik berbagai kebijakan yang dibuatnya. Salah satunya ialah kebijakan pelarangan pembangunan mal, bahkan ekspansi minimarket ke desa-desa di Banyuwangi.

"Kami dianggap anti-pasar global," kata Anas.

Namun, kebijakan itu memiliki landasannya. Lima tahun lalu, pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi masih rendah, hanya sekitar Rp 20,8 juta per tahun. 

Tingkat kemiskinan di Banyuwangi pun mencapai 20 persen dengan gini rasio atau tingkat ketimpangan mencapai 0,33 persen. Sementara itu, angka pengangguran terbuka mencapai 6 persen.

Lantaran fakta itu, Anas mengambil kebijakan melarang pasar modern masuk ke Banyuwangi hingga pendapatan per kapita masyarakat mencapai Rp 25 juta per tahun.

"Kalau income rendah, pasar modern merangsek ke desa-desa, maka masyarakat tidak akan bisa meningkatkan kapasitas ekonomi," ujarnya.

Keberadaan mal atau minimarket di desa-desa dinilai akan menghambat, bahkan mematikan toko-toko kelontong pinggir jalan milik masyarakat kecil.

Meski mengaku banyak dikecam, Anas menegaskan bahwa kebijakannya merupakan langkah memproteksi diri dari perkembangan ekonomi yang bisa memukul rakyat kecil.

"Mal hanya simbol kemajuan sebuah kota, tetapi pajaknya enggak (besar) ke kami," kata pria berusia 43 tahun itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com