JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang pelarangan penjualan minuman alkohol (minol) di minimarket.
Sebab, pelarangan penjualan minuman alkohol berdampak pada keberlangsungan bisnis minimarket.
Seperti diketahui, pelarangan penjualan minuman alkohol diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomot 6 Tahun 2015 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
"Perdagangan yang kita selalu harapkan adalah bukan pelarangan. Karena seluruh dunia pun ada menjual (minuman alkohol," ujar Ketua Umum Roy Mandey di Jakarta, Senin (10/7/2017).
"Akan tetapi, ini pengaturan atau monitoring atau pengawasan yang lebih di pembaharui kan sudah ada pengaturan terhadap minol di Permendag."
Menurut Roy terdapat tiga dampak jika pemerintah tetap melarang penjualan minol di minimarket.
(Baca: Kinerja 7-Eleven Tergerus Larangan Menjual Minuman Beralkohol)
Pertama, dengan pelarangan ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mengakomodasi global modernisasi.
Kedua, ke mana konsumen yang memang memakai dan membutuhkan?
Ketiga, terciptanya black market. Misal ada pihak yang menjual bir di jalanan dengan mobil di bagasi yang mereka parkir di minimarket.
"Jadi ada black market yang akan masuk, daripada black market mending terang-terangan toh pajaknya juga disetorkan ke negara," jelas dia.
Selain itu, perusahaan minol akan memindahkan pabriknya dari Indonesia ke luar negeri. Salah satunya, terang dia, pada pabrik-pabrik yang memproduksi bir.
"Jadi sekarang sudah ada beberapa laporan kalau ada pabrik bir yang memindahkan pabriknya ke luar Indonesia. Kan sayang berarti investasi ke luar," ungkap dia.
Maka dari itu, Roy meminta keikhlasan pemerintah untuk tidak melarang penjualan minol di minimarket.
Sebab, tambah dia, penjualan minol di minimarket cukup tinggi, sekitar 11 persen.
"Jadi dibutuhkan satu kearifan lokal dan pemandangan global bahwa dunia ini harus lebih modern," pungkas dia.