Teknologi keuangan atau financial technology (fintech), melahirkan berbagai moda baru yang lebih praktis bagi konsumen dalam mengakses produk dan layanan keuangan. Keberadaan fintech pun menggugah status quo dan merevolusi cara kerja institusi keuangan tradisional.
Interaksi nasabah dalam kegiatan perbankan, misalnya, menjadi semakin dinamis. Seperti ditunjukkan oleh survey McKinsey & Company (2015); sejak 2011, adopsi layanan digital-banking meningkat pesat di seluruh Asia.
Nasabah beralih pada komputer, smartphone dan tablet dalam interaksinya dengan perbankan – menjadikan kegiatan berkunjung ke kantor cabang dan bercakap lewat saluran telpon untuk menikmati layanan perbankan, jauh berkurang.
Khusus di negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia, pemanfaatan channel tradisional seperti melalui ATM memang masih mendominasi, namun demikian survey yang sama menyebutkan lonjakan penggunaan internet dan smartphone banking oleh nasabah hampir 5 kali lipat dibandingkan 2011.
Semakin bergantungnya konsumen terhadap teknologi ini pun menjadi faktor kunci pesatnya perkembangan fintech untuk mendukung berbagai layanan keuangan di Indonesia. Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 140 perusahaan start-up dan diprediksi terus bertambah sejalan dengan masih besarnya potensi pasar yang belum terjamah.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah pemain, layanan yang ditawarkan oleh fintech juga semakin beragam, mulai dari pembayaran, pembiayaan/pinjaman, investasi di pasar modal hingga asuransi dikemas lebih menarik dengan sentuhan fintech.
Pengetahuan, tuntutan, tingkat kenyamanan dan inklusi keuangan publik pun semakin meningkat. Namun demikian, sebagai konsekuensi logis dari akses yang lebih terbuka dan opsi yang lebih banyak ini adalah meningkatnya resiko keamanan dalam bertransaksi.
Ancaman Kejahatan "Cyber" di Indonesia
Indonesia berada pada peringkat pertama pertumbuhan tercepat koneksi di dunia. Namun sayangnya, Indonesia menempati peringkat pertama dengan jumlah cyber crime terbanyak di dunia dan di peringkat kedua dunia terkait kegiatan hacking.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya melaporkan ada sekitar 1.627 kasus pidana sepanjang 2016 dan cyber crime menjadi kasus dengan jumlah tertinggi (1.207 kasus), dimana saat ini malware (virus, ransomware) merupakan cyber crime yang paling banyak dijumpai di Indonesia.
Semakin erat relasi antara teknologi dan layanan keuangan, dimana kegiatan keuangan dapat dilakukan kapan saja dimana saja, maka potensi ancaman kejahatan yang lebih sophisticated pun semakin besar. Tidak ada sektor yang begitu rawan terekspos ancaman ini selain sektor layanan keuangan – dan terutama fintech.
Meski cyber crime yang paling banyak terjadi adalah terkait malware, namun yang paling mengkhawatirkan adalah kejahatan yang terkait dengan transaksi keuangan seperti transaksi fiktif, carding (penggunaan kartu kredit orang lain), penipuan di marketplace, yang tentunya juga menjurus ke area-area fintech.
Resiko besar dari hal ini adalah hilangnya kepercayaan nasabah yang justru merupakan dasar utama dari pertumbuhan fintech ke depannya.
Memastikan Kenyamanan dan Keamanan Layanan Fintech
Secara teknis, terdapat banyak cara untuk melakukan pengamanan yang dapat dilakukan baik oleh penyedia layanan maupun pengguna.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.