Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Babak Baru Pengelolaan Moneter

Kompas.com - 23/08/2016, 14:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorM Fajar Marta

KOMPAS.com — Moneter adalah sesuatu yang abstrak dan tidak menarik, terlebih bagi masyarakat awam.

Namun, dia selalu ada di sekeliling kita, bahkan sangat memengaruhi hidup kita.

Misalkan total gaji kita sebesar Rp 100 juta per tahun. Dengan gaji sebesar itu, selain dapat memenuhi kebutuhan rutin rumah tangga, kita masih bisa membeli handphone baru, beberapa potong celana Levi’s, dan pelesiran ke luar kota atau ke luar negeri sebanyak dua kali.

Tahun berikutnya, anggaplah gaji kita tetap Rp 100 juta. Akan tetapi, pada tahun itu ternyata kita tidak bisa membeli handphone baru. Bahkan, berwisata hanya dapat satu kali dalam setahun, itu pun hanya di dalam negeri.

Apa yang terjadi? Ternyata harga-harga barang dan jasa, seperti beras, minyak goreng, uang sekolah, tiket pesawat, pada tahun itu lebih mahal dari tahun sebelumnya. Terjadi lonjakan inflasi.

Akibat inflasi, nilai aset atau uang kita menurun. Kesejahteraan kita pun jatuh. Itulah fenomena moneter.

Jika Anda seorang debitor Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pasti Anda pernah jengkel karena tiba-tiba cicilan kredit melonjak tinggi, misalnya dari biasanya Rp 2,5 juta per bulan menjadi Rp 3,5 juta per bulan.

Itu juga bagian dari fenomena moneter.

Nah, tahun ini, terjadi sejumlah hal menarik terkait fenomena moneter di negeri ini.

Fenomena moneter pertama adalah inflasi.

Inflasi setahunan (year on year) hingga Juli 2016 hanya sebesar 3,21 persen. Jika tingkat inflasi ini dapat dipertahankan hingga akhir tahun, maka ini akan jadi inflasi terendah sejak 2009, saat inflasi hanya 2,78 persen.

Tak hanya itu, inilah untuk kali pertama dalam sejarah republik, selama dua tahun berturut-turut inflasi dapat dijaga di level 3 persen.

Tahun 2015, inflasi hanya 3,33 persen, sementara per bulan Juli tahun ini, inflasi sebesar 3,21 persen.

Apabila inflasi tahunan selalu stabil di kisaran 3 persen, maka Indonesia akan setara dengan negara-negara tetangga yang lebih mapan, seperti Singapura dan Malaysia.

Inflasi rendah dan stabil adalah tujuan setiap otoritas moneter di dunia. 

Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah dan bank sentral berupaya menurunkan inflasi di kisaran 3 persen, tetapi tak pernah berhasil. Inflasi Indonesia selalu di atas 5 persen dengan rata-rata sekitar 6 persen.

Inflasi rendah di bawah 4 persen hanya terjadi tatkala ada krisis yang merontokkan daya beli masyarakat.

M Fajar Marta/Kompas.com Inflasi tahunan Indonesia

Inflasi rendah yang stabil akan memberi topangan yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Percuma saja pertumbuhan tinggi jika inflasinya juga tinggi. Itu namanya pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Jika inflasi tidak dikelola dengan baik, maka perekonomian akan cepat memanas dan kemudian terjadi hard landing yang amat ditakutkan setiap negara.

Ujungnya pertumbuhan melambat, pengangguran meningkat, menimbulkan krisis sosial dan politik.

Seperti China saat ini, akibat asyik membangun, lupa mengelola inflasi. Akibatnya, yang terjadi adalah hard landing dan menyeret seluruh dunia dalam kelesuan ekonomi berkepanjangan.

Inflasi tinggi juga hanya akan memperparah tingkat ketimpangan masyarakat.

Bagi orang berduit, inflasi tinggi bisa jadi berkah karena akan mengerek suku bunga dan imbal hasil seluruh instrumen keuangan.

Artinya, orang yang berinvestasi di pasar keuangan saat inflasi tinggi akan menangguk untung besar dari rente bunga.

Sebaliknya, orang miskin yang tak berduit akan makin tak berdaya. Upah harian tukang becak yang harusnya bisa dibelikan makan keluarga dua kali sehari, akibat inflasi, bisa-bisa hanya cukup untuk makan keluarga satu kali sehari.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com